JADWAL PESANTREN MAHASISWA
Sabtu (Jam 13.00 - 14.45)
Kajian : Tajwidul Qur'an dan Kitab Salaf (Tauhid, Fiqh, dan Akhlak)
di Koridor Selatan Masjid Salman ITB
 (Gratis, terbuka untuk mahasiswa dan umum)
 

Abdul Chobir dan Salman Media
KH. Abdul Chobir (tengah) berfoto bersama dengan tim Salman Media di kediamannya di Cipasung, Tasikmalaya (Foto: Fahmi S)
Di sela-sela penyelenggaraan Journalism Camp di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, saya dan tim Salman Media sempat bersilaturahmi ke KH Abdul Chobir. Beliau merupakan seorang alumni Salman ITB yang kini menjadi salah satu kiai di pesantren tersebut.
Siang itu, sekitar pukul 14 siang, kami menemui beliau di rumahnya yang terletak tepat di depan Masjid Cipasung. “Maaf, baru mengisi (memberikan ceramah) pengajian. Tidak menunggu lama, kan?” tanyanya ramah sambil menyalami kami satu per satu.
Pria kelahiran 27 Desember 1957 ini tampaknya memiliki kenangan yang manis dengan Masjid Salman ITB. Usai kami memperkenalkan diri, beliau langsung bercerita tentang Masjid Salman ITB di era 1977 hingga 1982, tepat ketika beliau masih berstatus mahasiswa jurusan Fisika ITB.
Chobir mengaku banyak pengalaman penting yang beliau dapat semasa menjadi aktivis di Masjid Salman ITB. Salah satunya ketika Masjid Salman ITB kerap kali diundang untuk memberikan khutbah di masjid-masjid sekitar ITB. Waktu itu, beliau dan rekan-rekannya sesama aktivislah yang memenuhi undangan tersebut. “Padahal (waktu itu) cuman modal nekad,” kenang Chobir.
Pada masanya, pria asal Tulungagung, Jawa Timur ini banyak disukai aktivis Masjid Salman ITB karena suara emasnya. Beliau kerap bertugas sebagai muadzin ketika waktu shalat tiba. Karena bacaan Alqurannya yang merdu, beliau juga sering disuruh mengimami shalat. Terlebih lagi ketika Ramadhan tiba. Tugas menjadi muadzin dan imam tetap tarawih Masjid Salman ITB pun kerap diamanahkan kepada beliau ketika itu.
Ketika ditanya alasan Chobir aktif di Masjid Salman ITB ketika kuliah dulu, beliau hanya menjalankan amanah ayahya. “Di mana pun berada, harus dekat pesantren, kalau tidak (ada pesantren), harus dekat masjid,” ucap Chobir menirukan pesan ayahnya.
Namun, Masjid Salman ITB di mata suami Neng Ida Nurhalida ini lebih dari menjalankan amanah orang tuanya. Di masjid kampus pertama di Indonesia ini, beliau merasa nyaman. “Ukhuwah (aktivis)-nya sangat kuat,” nilai Chobir.
Ukhuwah yang kuat ini salah satunya tercermin bila ada salah seorang yang sakit. Mulai dari mengurus ketika sakit setiap harinya hingga meminta pengobatan gratis ke dokter, dilakukan bersama-sama.
Ketika Ramadhan tiba pun, Chobir dan rekan-rekannya sesama aktivis kerap tidur di Masjid Salman ITB. Bila lapar melanda, biasanya mereka makan roti bakar dan bubur kacang ijo di bilangan Tamansari, dekat Kebun Binatang Bandung.
Meskipun begitu, Ketua Panitia Pelaksana Program Ramadhan (P3R) Masjid Salman ITB tahun 1978 ini tidak menapik sifat kebanyakan mahasiswa ITB yang individualis dan memiliki ego yang tinggi. Namun, keegoan ini bisa dicairkan dengan cara-cara yang informal, seperti berjalan kaki bersama-sama ke Curug Dago, Lembang, Ciwidey, hingga Situ Patenggang. “Kalau ingat itu (jalan-jalan bersama), jadi nostalgia yang indah,” kenang bapak 4 orang anak ini.

Salman Era Akhir 1970-an
Mas Chobir, begitu Abdul Chobir akrab disapa, mulai aktif di Masjid Salman ITB sejak terdaftar sebagai mahasiwa jurusan Fisika ITB pada 1977. Dia ingat waktu itu Masjid Salman ITB selalu penuh sesak dengan jamaah ketika waktu shalat tiba.
Puncak jumlah jamaah di Masjid Salman ITB adalah pada bulan Ramadhan. “Suasana tarawih (di Masjid Salman ITB) sangat penuh. Telat sedikit saja, tidak akan dapat tempat (tarawih),” cerita Chobir.
Masjid Salman ITB juga menjadi pusat belajar Alquran untuk mahasiswa dan masyarakat ketika itu. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk Kaum Abangan, banyak dari mahasiswa ITB yang beragama Islam, tetapi belum bisa membaca Alquran. Sehingga Masjid Salman ITB kerap dibanjiri mahasiswa yang belajar membaca Iqra.
Semasa menjadi aktivis Masjid Salman ITB, Chobir diamanahi mengurus kuliah dhuha setiap Sabtu pagi. Kala itu, pesertanya adalah mahasiswa dan jumlahnya bisa mencapai ribuan orang. Sejak saat itu, akhirnya dibuatlah Keluarga Remaja Islam Salman (Karisma) ITB. Ketika itu, mahasiswa yang ribuan orang jumlahnya, dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok diskusi kecil.
Chobir juga merintis Salman Komunikasi Aspirasi Umat (SKAU), sebuah buletin Islam yang diterbitkan untuk jamaah Salman ITB. Menurutnya, membuat media cetak saat itu tidak semudah saat ini. Dirinya dan teman-teman redaksi lainnya harus me-layout secara manual dengan dibantu printer elektrik. Untuk urusan mencetaknya pun masih terbilang mahal. Sehingga tak jarang para awak SKAU menjelajahi gang-gang Kota Bandung untuk mencari percetakan yang murah.
Usai diwisuda pada 1983, Chobir sudah tidak lagi berkecimpung dalam aktivitas keagamaan di Masjid Salman ITB. Selain sibuk mengajar, Chobir ketika itu sudah memiliki istri dan mengharuskannya tinggal di Cipasung, Tasikmalaya.

Seperti Air Mengalir
Berbicara kehidupan, Chobir mengaku tidak pernah punya rencana dalam hidupnya. “Semuanya mengalir, seperti filosofi Sunan Kalijaga,” paparnya. “Ikuti aliran air, tapi jangan sampai terbawa arusnya,” lanjut alumni magister Teknik Elektro ITB ini menjelaskan.
Meskipun mengikuti aliran air, tetapi jalan hidup beliau oleh rekan-rekan dan keluarganya dinilai baik. Chobir memandang jalan hidupnya sebagai karunia dari Allah. “Kalau belajar, bisa sampai malam. Bukan karena terpaksa, tapi karena senang. Mungkin hal ini karunia dari Allah,” papar anak dari Abdul Adi ini menggambarkan filosofi hidupnya.
Selain berkesempatan berkuliah di ITB, hal istimewa lainnya dalam hidupnya adalah menikah dengan putri kyai Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.
Chobir sendiri dibesarkan di lingkungan pesantren di Tulungagung. Ayahnya merupakan salah satu kiai di pesantren tersebut. Karena dibesarkan sebagai seorang santri inilah, di dalam diri Chobir ada keseganan untuk menikah dengan putri seorang kiai.
Namun, keseganan ini tidak terpatri di diri teman-teman kuliahnya di ITB. Sehingga ketika tim ITB menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat di Cipasung, beberapa rekannya menjodohkan Chobir dengan putri kiai Cipasung, dan berhasil. Chobir pun menikah dua hari sebelum dia diwisuda. “Jadi dapet ijabsah dan ijasah,” candanya.
Hal yang kini dia raih bukanlah tanpa sebab. Ketika dirinya mencoba menelusuri jalan hidupnya, pendiri Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Cipasung ini menyimpulkan bahwa patuh kepada orang tua dan sering membaca Alquran adalah kunci kehidupannya kini.
Dalam Alquran, lanjut Chobir, ada 3 rangkaian ayat Alquran yang harus dijalankan. Bila tidak dijalankan, tidak akan diterima oleh Allah kelak. Ketiga rangkaian itu adalah shalat dan zakat, mentaati Allah dan rasul-Nya, dan berbakti kepada orang tua.
Chobir sendiri mengakui bahwa ibunya dia nilai sangat rajin beribadah. Selain puasa dan shalat, ibunya kerap membaca Alquran. Sehingga, ketika ibunya berdoa meminta kebaikan untuk anak-anaknya, mungkin hal inilah yang dikabulkan oleh Allah.
Selain doa dari orang tuanya, Chobir juga menilai kebiasaannya membaca Alquran, membuat jalan hidupnya menjadi baik. Bila tidak ada kegiatan, dirinya lebih menyukai membaca Alquran. “Senang aja kalau membaca Alquran. Mungkin karunianya di situ,” simpul Chobir.
Menjelang adzan Ashar, saya dan rekan-rekan Salman Media berpamitan untuk kembali ke lokasi Journalism Camp. Satu hal yang dipesankan KH Abdul Chobir, bahwa tantangan berdakwah saat ini jauh lebih berat. Tontonan dari televisi sudah cukup banyak. Namun, dari internet juga ada banyak dampak negatif. “Harus diimbangi oleh umat Islam sendiri dengan menciptakan konten-konten yang positif,” pesannya singkat.

Berikut ini kami tampilkan kisah perjalanan hidup beliau yang ditulis langsung oleh KH. Abdul Chobir.

Cerita ini mudah-mudahan lebih melengkapi beranekaragamnya alumni ITB angkatan 77. Saya dibesarkan dilingkungan pesantren tarekat di sebuah kampung kecil di Tulungagung, Jawa Timur. Ayah saya adalah seorang guru tarekat (mursyid). Seperti kebanyakan yang terjadi dengan anak dari seorang mursyid, masa SD sampai SMA saya dihabiskan dengan pendidikan ke-pesantren-an dengan harapan nantinya saya akan meneruskan pesantren yang telah dirintis oleh ayah, kakek, dan buyut saya. Dengan alasan yang sama, setelah saya lulus dari SMPPN Tulungagung (sekarang SMA 1 Tulungagung), saya dititipkan di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak Yogyakarta.


 
[Chobir kecil sesaat setelah menerima penghargaan sebagai juara MTQ anak-anak di Mesjid Agung Tulungagung (1970)]
“Terdampar” di Bandung dan kuliah di ITB
Namun kemudian, di Krapyak saya malah mengikuti test ujian masuk perguruan tinggi SKALU yang bertempat di Jurusan Biologi UGM. Ternyata saya diterima di FMIPA ITB angkatan 1977. Akhirnya sayapun berkuliah di ITB.


[Sesaat setelah OSPEK, Berpose dengan teman-teman asal Tulungagung (Joko, Eko, Agus, Didik, Chobir)]


[ Ketika Ospek 1977 ]

Di Bandung saya banyak beraktivitas di Salman karena pesan orang tua saya supaya tidak jauh-jauh dari mesjid. Kegiatan utama saya sebagai tukang adzan (muadzin), guru ngaji, sesekali jadi imam mesjid. Beberapa dari aktivitas saya selama dikampus adalah ikut unit Pers Kampus, mengurus Toko Buku Ganesha Koperasi Kesejahteraan Mahasiswa Bandung, juga mengikuti kegiatan di Yayasan Swadaya Muda, yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan teknologi tepat guna dan pelayanan sosial.
sumber : salmanitb.com

Posting Komentar Blogger

 
Top