JADWAL PESANTREN MAHASISWA
Sabtu (Jam 13.00 - 14.45)
Kajian : Tajwidul Qur'an dan Kitab Salaf (Tauhid, Fiqh, dan Akhlak)
di Koridor Selatan Masjid Salman ITB
 (Gratis, terbuka untuk mahasiswa dan umum)
 

kalimat thayyibah, kh choer affandi, uwa ajengan
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS Ibrahim [14]: 24-25)

Dalam bahasa arab, “kalimat yang baik” itu dikenal dengan istilah “Kalimah thayyibah”. Adapun lafal yang termasuk dalam kalimah Thayyibah itu adalah: La ilahaillallah.

Dan termasuk pula kalimah Thayyibah berupa perkataan apa saja yang mengandung unsur Amar ma`ruf nahyi munkar, yaitu memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah dari kejelekan.

Allah mengumpamakan kalimat tersebut seperti pohon yang baik dan cabangnya menjulang ke atas. Jika kalimat tersebut dibaca, diucapkan, dan terdengar oleh malaikat, akan diperoleh hasil yang sangat baik. Buahnya lebat, dan dapat dipanen baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Di antara para Salikin, ada yang menjiwai bacaan Tahlil (La ilaha illallah) dengan beberapa makna yang terdapat dalam kata setelah huruf La. Menurut ilmu Nahwu (tata bahasa Arab), kata yang terletak setelah huruf La linafy al-jinsi itu harus selalu dibuang. Oleh sebagian Salikin, kata yang dibuang itu diperkirakan ada empat kata, yaitu:
1. La ilaha maujudun illallah
2. La ilaha ma`budun illallah
3. La ilaha mathlubun illallah
4. La ilaha maqshudun illallah

Lalu, ketika kalimat itu dipakai dalam zikir lisan, lafal “ilaha” dibuang karena hatinya telah yakin kepada Allah. Hatinya telah mencapai makrifat. Ia merasa bahwa dirinya telah menghadap Allah.

La maujuda illallah
Tiada yang maujud, tidak ada yang dapat ditemui, tidak ada yang ADA secara hakiki, kecuali Allah. Yang wujud (ada) selain Allah itu hanyalah semu. Semua yang ada di dunia mulai dari kemunculannya kelak akan menghilang. Sedangkan Allah tidak akan pernah hilang, selamanya “ada”, “ada” yang hakiki.

La ma`buda illallah
Tiada yang berhak diibadahi dengan nyata, disembah, dipuja dan dipuji selain Allah. Jangan pernah beralih sedikitpun menyembah kepada selain Allah. atau percaya bahwa ada yang berhak disembah selain Allah. Yang demikian itu dinamakan musyrik. Yang selalu disembah tapi bukan Allah itu tidaklah wujud (ada).

La mathluba illallah
Tiada yang berhak dipatuhi dan ditaati perintah serta larangannya selain Allah. Jalan yang dipakai haruslah jalan Allah serta menuju kepada-Nya. Segala sesuatu haruslah memakai petunjuk Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah, serta bertujuan karena Allah demi melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan kata lain, semua urusan haruslah memakai pedoman agama Islam, memegang teguh syariat-Nya, dan takwa yang sebenar-benarnya. Jika seseorang beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, berarti ia akan sesat. Seperti, memberikan sesaji kepada sesuatu yang gaib, atau membaca mantra-mantra yang isinya bukan bacaan zikir. Meskipun niatnya menyembah Allah, kalau caranya salah, tetaplah sesat.

La maqshuda illallah
Tiada yang berhak dituju dan berhak dimintai ridhanya selain Allah. Bukan untuk mengejar urusan dunia, ingin mendapatkan pangkat dan kedudukan, mengharapkan wibawa dan penghormatan, bukan pula ingin mendapatkan harta dan wanita. Akan tetapi, itu semua hanya dilakukan dalam rangka ibadah semata, bekerja dengan ikhlas karena Allah, dan ingin diridhai oleh-Nya.

kalimat thayyibah, kh choer affandi, uwa ajengan
Uwa Ajengan
Melalui bacaan zikir yang empat itu, lalu dihayati, difokuskan kedalam pikiran, dan berkonsentasi. Maka ketika mengucapkan la maujuda illallah, diikrarkan dalam hati bahwa, “disini , begini, saat ini, aku adalah hasil ciptaan Allah”. Artinya, ditempat ini, dalam perilaku dan perbuatan ini, dan pada saat ini (sekarang, yang sedang dilalui) terasa dalam hati bahwa aku sedang ada dalam takdir Allah. Aku tidak berkuasa, tiada daya dan upaya selain digerakkan oleh Allah.

Ketika mengucapkan la ma`buda illallah, diikrarkan dalam hatinya, “dalam Qudrat ini aku mengabdi kepada Allah”. Artinya, dalam perlakuan Allah ini, sekarang yang sedang berlangsung, aku serahkan pengabdianku kepada-Mu. Aku menyembah dan beribadah kepada-Mu.

Ketika mengucapkan La mathluba illallah, diikrarkan dalam hatinya, “perbuatan ini dilakukan karena perintah Allah. Artinya, bahwa dalam takdir dan kekuasaan Allah yang sekarang sedang dialami, aku beramal dan beribadah kepada-Mu dalam rangka menjalankan perintah-Mu. Sebab, tiada perintah dan larangan yang berhak untuk ditaati selain dari-Mu. Semoga menjadi amal ibadah yang diterima oleh-Mu.

Ketika mengucapkan la maqshuda illallah, diikrarkan dalam hatinya, “aku melakukan perbuatan ini karena mengharap ridha Allah”. Artinya, aku mengerjakan perbuatan ini, ibadah ini, dan perintah-Mu yang ini, tiada yang dimaksud dan tiada yang diharapakan kecuali keridhaan-Mu. Tidak ada yang aku harapkan selain ridha-Mu sebab, takdir apa pun yang menimpaku, pastilah ia kehendak-Mu dan kasih sayang dari-Mu. Meskipun berupa cobaan atau siksaan, asalkan semuanya berada dalam bingkai ridha-Mu.

Jika segala sesuatu dijalani dalam bingkai keridhaan Allah, tidak ada yang terasa pahit, sakit, atau pusing, karena Allah itu Maha baik kepada hamba-Nya, Maha Pengasih, dan Maha Pemurah. Allah itu Rahman dan Rahim.

Setelah mengikrarkan empat zikir tadi, para salikin mengikrarkan juga:
Dengan Menyebut Nama Allah. Kami bertawakal kepada Alah. Tidak ada daya upaya kecuali atas izin Allah. Aku meminta ampunan dari Allah Yang Maha Besar. Dan aku bertobat kepada-Mu”.

Jika kalimah thayyibah ini diikarkan seperti yang dilakukan oleh para Salikin, yaitu diikrarkan setipa kali memulai perbuatan baik, pada setiap bangun tidur, setiap mau pergi ke pasar, ke kantor, ke sawah, ke pabrik, ketika mau membuka toko, mengaji, belajar, memulai rapat, membuka acara, maka semua perbuatan kita -insya Allah- berada dalam bingkai ridha Allah, dilindungi oleh-Nya, dikabulkan segala niat dan amalnya oleh Allah, dimasukkan kepada alam yang Maqbul (diterima). Dengan membacakan ikrar ini, amalnya akan menjadi terasa sangat khusyuk.

Dan ketika seseorang mendapatkan kegagalan, seperti rugi dalam berdagang, sawah terkena hama, sulit membaca Al-Quran, tertipu atau terzalimi oleh orang lain, maka penghasilan di dunia tidak ada, nilai akhiratnya telah diperoleh dari keikhlasan, amal,tawakal, dan pekerjaan yang dilakukan sungguh-sungguh karena Allah. Akhiratnya tidak akan rugi. Sebab, ketika hendak berdagang, ia berikrar bahwa kegiatan berdagangnya dilakukan semata-mata karena Allah, atas perintah-Nya, dan ingin mendapat ridha-Nya. Menurut orang tersebut, saat ini ia rugi, tidak mendapat untung. Padahal, keuntungan akhirat sudah lebih besar.

Ketika hendak bercocok tanam pun ia berikrar kepada Allah bahwa pekerjaannya ini justru dalam rangka beribadah kepada Allah dan mengharap ridha-Nya. Kalau pun tidak menghasilkan panen yang banyak, amal kebaikannya sudah tersedia sebagai bekal kelak di akhirat. Tidak perlu resah dengan urusan rezeki. Apabila berdagang dan bertani apa pun rugi, peluang untuk mendapatkan hasil dan rezeki itu muncul dari jalan lain yang tidak disangka. Sebab, amal dan sikap tawakalnya telah diserahkan kepada-Nya. Rezeki kita bukan hasil dari hasil usaha kita. Lihat saja, dari dulu kita makan dan berpakaian karena hasil pemberian orang tua kita sendiri. Kita tidak pernah bekerja dan tidak pula memintanya.

Yakinlah dalam hati bahwa urusan dunia itu lebih merupakan tanggung jawab Allah daripada diri kita sendiri. Allah memberikan rahmat-Nya kepada seluruh manusia tanpa pandang bulu, baik tukang maksiat, tukang durhaka, bahkan orang kafir pun diberikan rezeki oleh Allah, dirahmati dengan Rahmaniyyah Allah.

Demikian pula dengan urusan akhirat, itu semua juga terserah Allah. Sebab, masuk Surga itu bergantung kepada karunia Allah, maka masuk Neraka pun bergantung kepada kehendak Allah. Adapun amalan di dunia itu tidak akan cukup digunakan untuk membeli Surga Allah yang teramat nikmat dan lezat, yang tidak ada bandingnya di dunia. Amalan mana yang cukup untuk membeli Surga? Kalaulah tidak karena kemurahan Allah dan tidak ada janjiAllah bagi orang yang bertakwa, tidak akan ada satu orang pun yang mampu membeli Surga. Yang palig utama dan paling baik untuk diminta, tiada lain adalah ridha Allah.

Ciri yang paling mudah untuk menentukan bahwa diri kita berada dalam ridha Allah adalah adanya keberanian untuk mati dalam keadaan apapun, berani melepaskan nyawa ketika berperilaku apapun, yang tentu saja didasarkan kepada iman dan syariat agama. Jika tidak ada keberanian untuk mati ketika berada dalam kondisi apa pun, berarti amalnya jelek, karena kematian akan mendatangi kita ketika kita lengah. Tiada persiapan yang kita miliki selain berada dalam amal kebaikan yang diridhai Allah.

Orang yang mengharapkan ridha Allah (Murid) harus menapaki jalan amal. Orang yang sedang beramal dengan membawa harapan untuk sampai menuju Allah, dinamakan Salik. Ini adalah tugas yang telah diembankan oleh Allah. Jika amal seseorang diterima oleh Allah (Maqbul), dia akan berhasil meraih Makrifat. Itulah yang dinamakan dengan ‘Arif billah. Derajatnya disebut Waliyullah, atau para wali, sebagaimana difirmankan oleh Allah:

Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak mereka bersedih hati. Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa (QS Yunus [10]:62-63).

Posting Komentar Blogger

 
Top